Aku tergeragap. Sebuah kilat
cahaya telah memecah bongkahan batu besar, tempat selama ini aku tidur di
dalamnya. Sulit kuterjemahkan melalui kamus apapun. Sebab, ia datang begitu
cepat, sebelum aku sempat membeli kamus dan membukanya dari halaman ke halaman.
Mungkin jika kilatan cahaya itu sudah reda,besok atau lusa, akan kutanyakan
pada ahli meteorologi, agar aku tidak terus-menerus kebingungan seperti
sekarang.
Paling tidak, hari itu, aku mendapat bahan penelitian baru yang
selama ini belum terdata oleh lembaga penelitian manapun. Ini adalah
pengetahuan baru tentang ilmu bumi. Tapi aku ragu. Atau inikah yang disebut
sebagai peristiwa alam yang akan mengantarkan manusia kealam baru? Bumi ketiga?
Ah, terlalu lancang aku mendahului inisiatif Tuhan. Tapi…
Plar…plar! Kilatan itu makin menjadi-jadi.
Bongkahan-bongkahan batu itu kini pecah berkeping-keping, dengan berbagai
bentuk, yang aku sendiri sulit untuk mengelompokkan menjadi satu, sehingga ia
terkumpul dalam beberapa etalase, sesuai dengan jenis dan bentuknya; apakah ia
batu marmer, batu akik, pualam, intan atau emas sekalipun. Mungkin
anaximandros, anaximenes dan ahli astronomi akan segera membuat teori baru jika
mereka turut menyaksikan peristiwa menggemparkan ini. atau bahkan, mereka akan
segera membuat ralat besar-besar di berbagai media massa, untuk meluruskan
teori kejadian alam yang pernah mereka tulis dalam ratusan buku.
Tapi, itu bukan urusanku. Toh, semua teori yang pernah
mereka cetuskan sudah terlalu lama mendarah daging, sehingga akan tidak segampang
itu menerima kejadian baru untuk disusun menjadi satu disiplin ilmu, atau
dirangkum menjadi sebuah buku. Sedang “teori” Tuhan melalui wahyu saja memakan
waktu yang tidak sebentar untuk diakui kebenarannya. Apalagi teori mahluk yang
tidak mungkin mengungguli keilmuan Tuhan. Mudah-mudahan, dalam satu kesempatan
nanti akan kutemui Tuhan;.
Gemuruh longsoran bebatuan yang terpecah oleh kilatan
cahaya itu, makin menggumpal, menggelinding dari perbukitan, menuju kedataran
rendah, tanp mencari tempat-tempat yang tersembunyi. Seperti daratan kering
yang sudah seratus tahun tak tersiram air. Bongkahan-bongkahan yang menjadi
kerikil terus memapas kilatan cahaya. Secara perlahan, dari pecahan-pecahan
yang seakan terburai dari perut bumi, berubah menjadi warna dan panorama baru.
Dari ribuan pori-pori yang sulit diukur diagramnya. Itu, terjelma aneka bentuk
kehidupan, yang aku sendiri menerka, bahwa aku sedang dalam kebangkitan baru.
Aku seperti terbangun oleh sapaan Tuhan, sama ketika Ashabul Kahfi
juga dihidupkan Tuhan 309 tahun ia terbaring dalam goa. Atau seperti Nabi Yunus
yang hidup kembali setelah sekian tahun berada dalam perut ikan.
Oh, kucoba untuk menepis cahaya itu, agar sinarnya tak begitu
menyilaukan. Kuambil selembar daun kering untuk melindungi sengatan yang makin
menyebar di sekelilingku. Aku terus gagal. Kilatan cahaya itu terus
berputar-putar bagaikan sinar laser dalam sebuah panggung pementasan. Ia
menyorot ke mana-mana, tanpa sedikitpun aku punya kemampuan untuk mengarah
cahaya itu.
“Cukup, cukup! Jangan kau hina aku dengan
sinarmu!” Aku makin kewalahan dengan pancaran yang benderang itu. Bermacam
tempat kuraih, agar ia dapat tertampung. Tapi semua nihil. Sesekali, sinar itu
singgah dalam tempat-tempat kosong. Tapi sedetik kemudian, ia kembali menjalar
ke mana-mana, tak ubahnya seperti udara yang selalu menempati ruang-ruang
kosong dalam setiap bentuk. Ia masuk dalam botol, cangkir, kotak, kantong baju
sampai ke semua lekuk bumi. Tapi tak sesiapa bisa menghalauinya. Ia akan terus
berjalan bersama udara.
“Tidak bisakah kau berhenti barang sebentar?”
Aku kian kebingungan mencari tempat berlindung.
“Kenapa makhluk sejenismu menjadi bingung
dengan kedatanganku?” Ada suara menggema dari balik
cahaya itu. “Bukankah kalian semua yang mengharapkan aku segera hadir di sini?”
Suara itu terus memantul ke segala arah. Aku menjadi gagap untuk
menjawabnya. Sebab, sebelum ini, aku hanya tertidur pulas dalam sebongkah batu
besar yang bisu. Seakan, aku sudah berada pada alam kematian panjang. Seperti
tak ada angin, cahaya atau petir sekalipun yang dapat membangkitkanku dari
pusara yang membantu.
Aku
makin tak bisa mengendalikan arah cahaya itu. Ia bergerak sesukanya. Membakar
semua kebisuan yang gagu. Dalam sebuah bejana, ia menyatu dengan udara, lalu
menjelma menjadi air. Berselubung dalam setiap dengus nafas, membasahi
pori-pori bumi dengan genangan keringat. Menyusup ke lapisan tanah yang paling
bawah, memandikan bumi dengan ribuan mata air, melukis permukaan alam dengan
kilauan merah. Cahaya itu telah mencurahkan air mata dan darah. Tak ada yang
perlu dipersalahkan. Toh aku dan makhluk sejenisku telah berada dalam wilayah
itu. Tak mungkin lagi wahyu turun untuk membuat program transmigrasi ke bumi
keempat.
Cahaya, angin dan udara terus menyatu dalam irama yang
sama. Air pun terus bergulung di antara kilatan-kilatan cahaya. Aku, dan mahluk
sejenisku makin terasa malu atas ketidak siapan tempat untuk menampung semua
itu. Begitu panjang aku terlelap sehingga sama sekali aku tak pernah merasa
terlatih untuk membuat bejana-bejana penampungan, yang bisa menempatkan lautan
cahaya.
Bumi
pekat. Namun, kilatan cahaya itu tak termakan oleh kepekatanannya. Ia berjalan,
merambah memasuki setiap rumah, yang setiap penghuninya menjadi gusar, akan ke
mana cahaya itu diarahkan. Titik-titik embun terus menggelembung dikening para
tetangga, menggambarkan ketidakberdayaannya menatap kilauan cahaya. Aku hanya
menatap iba. Tak sesuatu pun yang bisa kuperbuat, sementara cahaya makin
menerpa ke setiap raga. Ke setiap gedung-gedung bertingkat, ke ujung mercusuar,
ke menara pagoda, sampai ke sudut desa.
Pagi buta. Petang menjelang, sampai gulita menggulung
siang, aku masih menatap
cahaya dengan gamang. Aku mengais cuilan-cuilan kerikil yang tersisa kemarin siang. Tapi yang terpantul hanya goresan luka. Dalam sebuah peta, puluhan, bahkan ratusan wajah kehilangan cinta. Dalam hatinya tertoreh sebuah kata: masih adakah cinta di sana? Tak sesiapa yang menjawab, desau angin terhantar, hanya membawa bau anyir darah, dan kabar kematian.
cahaya dengan gamang. Aku mengais cuilan-cuilan kerikil yang tersisa kemarin siang. Tapi yang terpantul hanya goresan luka. Dalam sebuah peta, puluhan, bahkan ratusan wajah kehilangan cinta. Dalam hatinya tertoreh sebuah kata: masih adakah cinta di sana? Tak sesiapa yang menjawab, desau angin terhantar, hanya membawa bau anyir darah, dan kabar kematian.
Cahaya
masih berada di atas mega. Namun sinarnya takkan terhenti sampai di sini. Ia
kini bukan saja menjadi air, tetapi juga duri-duri tajam, pedang, sabit,
celurit dan segala bentuk rupa yang makin sulit terjamahkan dengan logika. Ia
terus bergerak, menembus setiap jendela, menghujam pada semua bejana, meskipun
aku dan makhluk sejenisku tetap tak punya kemampuan untuk berjalan beriringan
bersama cahaya. Entah, esok, lusa dan sampai kapan, aku dan kami semua terus
berada dalam bumi ketiga yang gagap. Kini hanya satu jawaban; besok sebelum
subuh tiba, aku akan berlari untuk menjumpai Tuhan, dan belajar dari
keagungan-Nya, agar aku tidak terus berkepanjangan merasa bodoh berjalan
bersama cahaya.
Lahat-Sumsel 1999-2002
0 komentar:
Posting Komentar