SASTRA JAWA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dunia Sastra Jawa sampai dengan saat ini belum banyak dipahami masyarakat. Kita mungkin juga belum sepenuhnya mengetahui seberapa luas dunia sastra kita. Sastra Jawa erat kaitannya dengan bahasa Jawa tetapi Sastra Jawa tidak sekedar Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa dengan demikian tidak hanya studi tentang Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa merupakan dunia yang sangat luas. Seberapa luas Sastra Jawa itu, akan dibicarakan pada makalah ini.
Dunia Sastra Jawa sampai dengan saat ini belum banyak dipahami masyarakat. Kita mungkin juga belum sepenuhnya mengetahui seberapa luas dunia sastra kita. Sastra Jawa erat kaitannya dengan bahasa Jawa tetapi Sastra Jawa tidak sekedar Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa dengan demikian tidak hanya studi tentang Bahasa Jawa. Studi Sastra Jawa merupakan dunia yang sangat luas. Seberapa luas Sastra Jawa itu, akan dibicarakan pada makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dalam makalah ini maka
rumusan masalah yang dapat dirumuskan yaitu:
1. Bagaimanakah budaya Jawa?
2. Bagaiamanakah
perkembangan sastra Jawa?
3. Bagaimanakah
karya-karya sastra jawa?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui latar belakang budaya Jawa
2. Untuk
mengetahui sejarah sastra Jawa
3. Untuk
mengetahui karya-karya sastra Jawa sebagai salah satu sastra nusantara.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Latar
Belakang Budaya Jawa
1.
Asal-Usul
Budaya Jawa
“Dalam catatan Yunani, yang
ditulis oleh Claucius Ptolomeus (tahun 165 M)
istilah labadiou (jawadwipa)
digunakan untuk menyebut pulau Jawa, yang mana kurang lebih artinya adalah
sebuah pulau yang jauh terletak di tenggara yang kaya akan beras. Njowo digunakan sebagai sebuah ungkapan untuk mendefinisikan
tingkah laku seseorang, atau dengan kata lain njowo itu adalah mengerti; paham; beretika sesuai dengan (budaya)
Jawa .
Peradaban tertua di Indonesia yang
tercatat dalam perjalan pelancong-pelancong (dari Cina maupun pedagang India )
masa lalu adalah Sakanagara (abad 1 M) sendiri terletak di pesisir barat Pulau
Jawa, di sekitar daerah Pandeglang. Dari komunitas ini kemudian lahirlah
Taramarajuk (abad 4 M). Sedangkan di bagian tengah Pulau Jawa, peradaban tertua
di awali dengan kerajaan Kalingga (abad 6 M). Kemudian untuk Pulau Jawa bagian
timur, peradaban pertama yang dicatat adalah kerajaan Kanjuruhan dengan
ditemukannya prasasti Dinoyo (tahun 760) yang ditulis dengan huruf Jawa Kuno
(Kawi). Kemudian dilanjutkan dengan kerajaan yang didirikan oleh Mpu Sendok,
raja terakhir dari Wangsa Sanjaya yang berkuasa di Mataram pada abad 9 M, yang
memindahkan ibukota kerajaan lebih ke timur di tepi Sungai Brantas. Diduga
karena bencana alam meletusnya gunung Merapi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan “peradaban tertua yang
pernah tercatat di Pulau Jawa dimulai dari barat ke timur”. Juga terdapat
bentuk sinkritisme yang paling pas dan harmonis antara ajaran teologi
Islam-Hindu-Buddha-dan Jawa”
2.
Suku
Suku bangsa Jawa
adalah suku bangsa Indonesia yang paling banyak jumlahnya, menempati seluruh
daerah jawa tengah, jawa timur dan sebagian jawa barat mereka menggunakan
bahasa jawa secara keseluruhan, hanya saja terdapat perbedaan dialek di daerah
tertentu. Suku bangsa jawa termasuk suku bangsa yang telah maju kebudayaannya,
karena sejak zaman dahulu mereka telah banyak mendapat pengaruh dari berbagai
kebudayaan, seperti : kedubayanan Hindu, Budha, Islam dan Eropa.
Sehubungan dengan berbagai kepercayaan
masyarakat Jawa, maka dilaksanakan upacara-upacara selametan sebagai berikut:
a. Upacara selametan yang berhubungan
dengan lingkaran hidup manusia, seperti mitoni, kematian, dan lainnya.
b. Upacara selametan yang berhubungan dengan
kehidupan desa, seperti bersih desa, penggarapan pertanian, dan lainnya.
c. Upacara selametan yang berhubungan dengan
pernikahan, seperti selamatan sepasaran setelah pernikahan.
d. Upacara selametan yang berhubungan
dengan peringatan hari-hari atau bulan-bulan besar Islam, seperti sekatenan
atau grebeg maulud, sura, dan sebagainya.
e. Upacara selametan yang berhubungan dengan
kejadian-kejadian tertentu, seperti melakukan perjalanan jauh, mulai membuat
rumah, dan sebagainya.
f. Upacara selametan yang berhubungan
dengan orang meninggal dunia, seperti selametan surtanah atau (geblak), nelung dina, dan lainnya.
3.
Bahasa
Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta
bahasa, yaitu:
- Ngoko (kasar)
- Madya (biasa)
- Krama (halus)
Dalam bahasa Jawa penggunaan
tingkatan bahasa tersebut, tergantung status yang bersangkutan dan lawan
bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil. Sistem semacam ini masih dipakai di Surakarta, Yogyakarta,
dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa
semacam ini.
Terdapat juga bentuk bagongan dan kedhaton, yang hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan dan kedhaton.
contoh kalimat:
Terdapat juga bentuk bagongan dan kedhaton, yang hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan dan kedhaton.
contoh kalimat:
1.
Bahasa
Indonesia, "maaf,
saya mau tanya rumah Budi itu, di mana?"
·
Ngoko
kasar, “eh, aku
arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
Ngoko alus, “aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi
kuwi, nèng endi?”
Ngoko meninggikan diri sendiri, “aku kersa ndangu, omahé mas Budi
kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa
karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
·
Madya, “nuwun sèwu, kula ajeng tanglet,
griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
Madya alus, “nuwun sèwu, kula ajeng tanglet,
dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama
substandar))
·
Krama
andhap, “nuwun
sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
(dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'.
Krama lugu, “nuwun sewu, kula badhé takèn,
griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
Krama alus, “nuwun sewu, kula badhe nyuwun
pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
4.
Aksara
5.
Sistem
Kesenian Jawa
Sistem kesenian Jawa meliputi:
•
Bentuk
rumah adat, misalnya rumah joglo, rumah limasan, dan lain-lain.
•
Seni
tari, misal Tari Serimpi, Tari Gambyong, Tari Merak, dan lainnya.
•
Seni
tembang, seperti Sewu Ora Jamu, Ngidung, dan sebagainya.
•
Pakaian
Adat Jawa dapat berupa beskap, kebaya, batik, dan lain-lain.
B.
Sejarah
Sastra Jawa
Sejarah Sastra Jawa dimulai
dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna. Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya
dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam
bahasa Jawa (Kuna).
Pada dasarnya masyarakat Jawa
menganut system budaya terbuka terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing.
Pengaruh budaya asing itu tidak dapat dilepaspisahkan dengan kehidupan sastra
Jawa. Pengaruh budaya luar terhadap sastra Jawa itu telah berlangsung lama,
dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra Jawa Kuna, sastra Jawa
petengahan, sastra Jawa baru, serta sastra Jawa Modern, sejalan dengan waktu
masuknya pengaruh asing yang mewarnainya. Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada
pula Sastra
Jawa-Lombok,
Sastra Jawa-Sunda, Sastra
Jawa-Madura,
dan Sastra
Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling
banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945
sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang
diutamakan. Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi
cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini
disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.
1.
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra
Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita,
undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra
Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya
sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan
jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat
teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang
ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno sebagian
besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa
Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di
Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra
Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di
pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan dia juga tertarik dengan
kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie dia mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan
sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang
telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam
bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan
tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam
bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks
kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti
Siwagreha yang
ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah
sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasal dari abad ke-11.
2.
Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
3.
Sastra Jawa Baru
Sastra
Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama
Islam
di pulau Jawa
dari Demak
antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis
karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak
pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang
Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian
pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis
seperti Serat Jatiswara
dan Serat Centhini.
Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan
semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini
mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra
Jawa Kuna.
Gaya
bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan.
Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta
menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans
Sastra Jawa Kuna.
Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama
Hindu-Buddha
mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah
jenis karya yang khusus adalah babad,
yang menceritakan sejarah.
Jenis ini juga didapati pada Sastra
Jawa-Bali.
4.
Sastra Jawa Modern
Pada
gilirannya masyarakat Jawa mendapat pengaruh budaya Barat atau Eropa. Budaya
Barat itu berpengaruh pada bentuk dan isi karya sastra Jawa sehingga karya
sastra itu berbeda dengan karya sastra sebelmnya (Rass, 1985:1). Pada akhir
abad ke-19 sastra Jawa memasuki babakan baru sebagai akibat pengaruh budaya
Barat. Berdasarkan pengaruh Barat itu, sastra Jawa modern itu timbul sejalan
dengan lahirnya kata modern tersebut (Robson, 1978:13).
Pengaruh
Barat itu masuk ke dalam sastra Jawa melalui pendidikan Barat. Berkaitan dengan
jalur masukkan pengaruh Barat ke dalam sastra Jawa itu, para pengarang sastra
Jawa modern pada awalnya dipelopori oleh kalangan pendidik atau guru (Rass,
1985:10). Pengarang sastra Jawa pada waktu itu berasal dari kalangan pendidik,
antara lain, Mas Kuswadiharja, Raden Mas Wiryasusastra, Mas Reksatanaya, dan
Mas Prawirasudirja.
Era
kebangkitan sastra Jawa modern pada akhir abad ke-19 tidak terlepas dari
berdirinya lembaga bahasa jawa (instituut
voor de Javaansche Taal) di Surakarta pada tahun 1983. Lembaga bahasaJawa
itu berdiri berkat inisiatif atau prakarsa C.F. Winter (Cokrowinoto, 1990:36).
Lembaga itu telah melahirkan penulis atau pengarang sastra Jawa yang menuju kea
rah perkembangan sastra Jawa berikutnya. Di antara pengarang itu adalah M.A.
Carndranegara, Raden Abdullah Ibnu Sabar, Suryawijaya, dan Ki Padmasusastra.
Kehidupan
sastra Jawa pada akhir abad ke-19 juga sangat ditentukan oleh peran serta
penerbit sebagai sarana memasyarakatkan karya-karya sastra Jawa pada saat itu.
Peran C.F. Winter amat besar dalam melahirkan karya-karya sastra Jawa prosa
karya saduran atas karya-karya sastra Jawa klasik dalam bentuk tembang macapat. Ketika itu muncul karya
prosa yang berupa kisah perjalanan karangan M.A. Candranegara dengan judul Cariyos Bah Lampah-Lampah ipun Raden Mas
Arya Purwa Lelana (Batavia, 1965).
Pada
masa awal abad ke-20 karya sastra Jawa banyak berupa fiksi. Karya lain yang
berbentuk kisah perjalanan diungkapkan seperti laporan yang bersifat
jurnalistik.
C.
Jenis-jenis
Karya Sastra Jawa
a.
Karya
Sastra Jawa Kuno
Sebagian besar Sastra Jawa Kuna berbentuk Kakawin
(puisi) yang menggunakan metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk
Parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuna sering disebut sebagai Bahasa Kawi, akan tetapi
sebutan Bahasa Kawi bagi Bahasa Jawa Kuna tidaklah tepat. Bahasa Kawi hanya
berarti bahasa para Kawi, yakni para penulis Kakawin. Akan tetapi Bahasa Jawa
kuna tidak hanya digunakan dalam Kakawin saja, Parwa juga menggunakan Bahasa
Jawa Kuna sehingga sebutan Bahasa Kawi lalu menjadi terlalu sempit. Memang
pernah ada penggunaan istilah Bahasa Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa
Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga terlalu sempit, hanya mencakup sebagian saja,
tidak mencakup semuanya seutuhnya.
Sastra Jawa Kuna hidup pada abad IX- XVII, atau pada
masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni sejak Mataram Hindu sampai
Majapahit. Beberapa karya besar zaman Jawa Kuna aantara lain:
·
Ramayana karya Yogiswara
·
Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
·
Hariwangsa karya Mpu Panuluh
·
Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan
Panuluh
·
Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
·
Krsnayana karya Mpu Panuluh
·
Smaradahana karya Mpu Dharmaja
·
Arjunawijaya karya Mpu Tantular
·
Sutasoma karya Mpu Tantular
·
Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
·
Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung
(Zoetmulder, 1985: 453).
b.
Karya
Sastra Jawa Pertengahan
Bahasa Jawa Tengahan digunakan sekitar abad XVI,
atau pada masa akhir Majapahit sampai dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya
Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam bentuk Kidung (Puisi). Berbeda dengan
Kakawin yang menggunakan metrum India, Kidung menggunakan metrum Jawa. Beberapa
karya Kidung antara lain:
·
Kidung Harsawijaya
·
Kidung Ranggalawe
·
Kidung Sorandaka
·
Kidung Sunda
·
Wangbang Wideya
·
Sri Tanjung (Zoetmulder, 1985: 532).
c.
Karya
Sastra Jawa Baru
Penggunaan Bahasa Jawa Baru sejak masuknya Islam ke
Jawa, dan semakin berkembang saat Kerajaan Demak berkuasa. Berbeda dengan
Sastra Jawa Kuna dan Sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan,
Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan
kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat.
Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.
Sastra Jawa Baru yang tertulis juga sering disebut
Sastra Kapujanggan. Disebut demikian karena sastra ini kebanyakan ditulis oleh
para pujangga kerajaan. Selama abad XVIII dan XIX dikenal tiga belas nama tokoh
pujangga besar, termasuk di antaranya dua raja Surakarta: PB II dan IV, seorang
pangeran, dan dua adipati dari Semarang (Margana, 2004: 133). Beberapa pujangga
itu antara lain:
-
Pangeran Adilangu II
Pangeran Adilangu atau
Kadilangu II adalah keturunan Sunan Kalijaga yang juga dikenal sebagai Pangeran
Adilangu. Pangeran Adilangu II adalah pujangga semasa PB I dari Kartasura.
Karyanya adalah Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Mentawis.
-
Carik Bajra (wafat 1751)
Pada masa mudanya ia
bernama Sarataruna yang bekerja sebagai juru tulis di rumah Tumenggung
Kartanegara. Karena tulisan-tulisannya disukai Raja PB I, ia diminta untuk
menjadi juru tulis istana dan memperoleh gelar Carik Bajra. Karyanya adalah Babad
Kartasura dan Babad Tanah Jawi.
-
Raden Ngabehi Yasadipura I (1729 – 1803)
R.Ng. Yasadipura I
lahir di desa Pengging. Ayahnya adalah Tumenggung Padmanagara, seorang jaksa
pada masa Kartasura. R.Ng. Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari Raja
Pajang, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Karya-karyanya adalah:
Tajusalatin, Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti, Sewaka, Ambiya, Menak,
Baratayuda (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Arjunawiwaha (jarwa),
Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci
(jarwa), Babad Pakepung.
-
Raden Ngabehi Yasadipura II (1756 –
1844)
R.Ng. Yasadipura II
adalah putra R. Ng. Yasadipura I. Ia memiliki beberapa nama lain, yakni Raden
Panjangwasita, R.Ng. Ranggawarsita I, dan Tumenggung Sastranagara. Karirnya
sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad XIX. Bersama-sama dengan
atahnya ia menulis beberapa babad dan menerjemahkan beberapa karya Jawa Kuna.
Ia diangkat sebagai pujangga kerajaan setelah ayahnya wafat. Ia juga
bekerjasama dengan Kiai Ranggasutrasna, Kiai Ngabehi Sastradipura, dan Pangeran
Adipati Anom Hamengkubuwana III (PB V) menyusun Serat Centhini.
Karya-karya
Yasadipura II antara lain: Serat Arjunasasra atau Serat Lokapala, Serat
Darmasunya, Serat Panitisastra, Serat Kawidasanama, Serat Ambiya, Serat Musa,
Serat Sasana Sunu, Babad Pakepung, Serat Wicara Keras, dan Serat Centhini.
Kemungkinan bersama CF Winter ia juga menggubah Serat Baratayuda dan Serat
Ramayana.
-
Raden Ngabehi Ranggawarsita (18 Maret
1802 – 23 Desember 1873)
R.Ng. Ranggawarsita
adalah putra Raden Ngabehi Panjangswara atau Raden Ngabehi Ranggawarsita II;
atau cucu Yasadipura II. Nama kecilnya adalah Bagus Burhan. Karya R.Ng.
Ranggawarsita diperkirakan berjumlah enam puluh serat. Di dalam beberapa
karyanya R.Ng. Ranggawarsita menyamarkan namanya ke dalam sandi asma. Beberapa
karyanya juga memuat ramalan. Karya-karya yang banyak dikenal masyarakat antara
lain: Serat Kalatidha, Serat Jaka Lodhang, Serat Sabdajati, Serat Wirid Hidayat
Jati, Serat Pustakaraja Purwa, Serat Jayengbaya.
d.
Karya
Sastra Jawa Modern
Beberapa jenis atau genre yang berkembang dan tetap eksis hingga sekarang adalah prosa
yang terdiri atas novel, cerbung, dan cerpen (cerkak); puisi (guritan); dan
drama (sandiwara). Selain itu, berkembang pula jenis cergam (cerita bergambar),
yaitu genre yang lahir dari perpaduan
antara seni lukis dan seni sastra. Pada dasarnya, jenis yang terakhir ini dapat
dikategorikan sebagai genre prosa.
a. Prosa
Jenis sastra yang terbit pertama pada awal periode
kemerdekaan adalah karya prosa (berupa kisah perjalanan, non-fiksi) berjudul Nayaka Lelana (1949). Prosa berbentuk tembang karya Mr. Susanta Tirtapradja
diterbitkan oleh Sari Pers, Jakarta. Tiga tahun kemudian, Balai Pustaka
menerbitkan beberapa buah prosa, yaitu novel O, Anakku…(1952) karya Th. Suroto; Jodho kang Pinasthi (1952) karya Sri Hadidjojo; Sri Kuning (1953) karya R. Hardjowirogo;
dan cerpen satiris-simbolis Dongeng Sato
Kewan (1952) karya Prijana Winduwinata. Setelah itu, Balai pustaka juga
menerbitkan novel, yaitu Serat Gerilya
Sala (1957) karangan Sri Hadidjojo; Sinta
(1957) karya Soenarno Sisworahardjo, Ayu Ingkang Siyal (1 957) karya
Soegeng Tjakrasoewignya, Kembang
Kanthil (1957) karangan Seggono, dan Kumpule
Balung Pisah (1975) karya A. Saerozi. Pada tahun 1958 terbit dua buah karya
prosa, yaitu Kemandhang (antologi
cerpen dan puisi) susunan Senggono dan Kidung
Weingi ing Gunung Gamping (antologi cerpen) karya St. Iesmaniasta.
Selain novel dan atau cerbung, jenis prosa yang
terbit pada awal kemerdekaan (pada masa Orde Lama, 1945-1965) adalah macam
kesulitan, secara perlahan-lahan peran Balai Pustaka digantikan oleh berbagai
penerbit swasta walaupun mulai tahun 1952 Balai Pustaka kembali menerbitkan
beberapa novel. Jika dibandingkan dengan terbitan Balai Pustaka-yang cenderung menerbitkan
novel-jenis prosa terbitan swasta relatife lebih bervariasi. Dalam Panjebar Semangat dan Jaya Baya,
misalnya, prosa yang terbit tidak hanya novel (prosa panjang), tetapi juga
cerpen (prosa pendek). Selanjutnya, pada akhir 1950-an hingga 1960-an, terbit
banyak novel saku yang disebut Panglipur
wuyung.
Terbitan berseri Panglipur
wuyung disebut juga jenis karya sastra popular karena di dalamnya kata-kata
“roman” muncul secara eksplisit. Walaupun bersifat popular, terbitan itu tidak
persis sama dengan Panglipur wuyung
karena penggarapannya relative lebih baik meskipun kadang-kadang bahan cerita
tetap diambil dari kisah-kisah populer seperti tampak pada Cleopatra karya Setiawan dan
Tuhuning Katresna karya Any Asmara. Meskipun pada masa itu jenis prosa panjang
(novel) berkembang pesat, perkembangan prosa dalam berbagai mingguan berbahasa
Jawa tetap didominani oleh subgenre cerpen.
Dilihat secara visual dan structural, kriteria panglipur wuyung memang dekat dengan
kriteria sastra populer seperti yang dikemukakan oleh Damono dan Kayam. Tanda
yang menonjol tampak cantik, dan pada
sampul yang berilustrasi gambar mimetic, gambar wanita cantik, dan pada bagian
atas sampul depan dicantumkan ungkapan “Seri Sekar Setaman” (dalam Ditinggal Nyang Perbatasan karya
Hardjana H.P.), “Seri Kembang Brayan” (dalam Grombolan Jaket Abang dan Gendruwo
Maguwa karya Any Asmara), “Sari Maduning Panglipur” (dalam Sala Udan Tangis karya , Eny Anggraeni), dan “Novellete Bas Jawa”
(dalam Telik Sandi karya Any Asmara).
Karena tujuan pokoknya adalah untuk
hiburan ringan, tidak aneh jika panglipur
wuyung tipis-tipis (sekitar 50 halaman), berukuran saku, dan harganya
murah. Beberapa di antara karya palingpur wuyung itu, anatara lain, Dhawet Ayu (1956), Rubedaning
Setan (1962), Tresna Abeya Pati (1962), Kapilut
Godhaning Setan (1962), Suduk Gunting
Tatu Loro (1964), Kenya Ketula-tula
(1964), Godhaing Prawan Ayu (1964), Sedulur Sinarawedi (1965), Pupur Sadurunge Benjut (1965), Sanja
Sangu Terbela (1965), Kiprahe Putra
Pertiwi (1965), dan Asmara tanpa
Wiweka (1965). Meskipun roman panglipur wuyung mengarahkan diri sebagai sastra
populer dan atau picisan, Any Asmara berpendapat bahwa kehadiran karya-karya
itu disambut hangat oleh pembaca. Berikut beberapa contoh roman panglipur wuyung.
Di tengah merebaknya roman panglipur wuyung karya Any Asmra dan kawan-kawan yang senagaja
untuk tujuan tujuan komersial, ada pula sejumlah novel picisan dari beberapa pengarang lain
(Soedharma K.D., Widi Widajat, Satim
Kadarjono, Suparto Brata, dan sebagainya) yang relative berbeda jika
dibandingkan dengan karya-karya Any Asmara. Widi Widajat, misalnya, cenderung
menggarap tema-tema rakyat kecil, sedangkan Any Asmara cendeung menggarap
kehidupan priyai yang diramu dengan
masalah cinta dan keluarga sehingga terkesan melankolis. Oleh karena itu,
novel-novel Widi Widajat lebih realistis dan sesuai dengan konteks masyrakat
pada waktu itu. Tiga diantara karya Widi Widajat adalah Dhawet Ayu (1965), Saka Guru Revolusi (1965), dan Kebak Sundukane (1965).
Karya-karya prosa(novel) Suparto Brata juga memiliki
kekhasan yang berbeda dengan karya-karya
lain. Trilogy Suparto Brata yang terkenal adalah kelangan satan, kaduk wani,
dan kena kulut (1964). Ketiga novel
itu bercerita tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Menurutnya, novel Lara-lapane Kaum Republik (1966) yang
ditulisnya merupakan bagian pertama dari Kelangan
Satan (trilogi1). Keistimewaan novel Lara-Lapane
Kaum Republik terletak pada gambaran kejiwaan sekolompok manusia yang
telibat dalam perjuangan kemerdekaan. Tokoh utama novel Lara-lapane Kaum Republik bernama Wiradi. Ia tidak dilukiskan
sebagai hero seperti yang biasa terjadi dalam
novel populer, tetapi dilukiskan sebagai tokoh biasa yang berada dalam situasi pertempuran.
Kehadiran tokoh demikian membuat novel itu sangat kuat dalam
nuansa kejiwaan. Novel lainnya yang berlatar peran dan mengedepankan
factor kejiwaan adalah Kadurakan Ing
Kidul Dringu(1964). Dari segi kualitas, novel itu tidak kalah jika
dibandingkan dengan Lara-Lapane Kaum
Republik. Novel Kadurangan ing Kidul Dringu juga menggambarkan konfilik
batin manusia yang sedang berjuang.
Novel-novel detektif juga merupakan jenis novel
popular sehingga karya-karya itu termasuk ke dalam kategori panglipur wuyung.
Novel-novel panglipur wuyung karya Satim Kadarjono memiliki kekhasan dalam
mengembangkan secara serius tema-tema perang. Karya-karyanya yang penting
adalah Swarga Ginawe Ayu (1954), Gelang
Setan (1955), Nebus (1956), Jansen (1957), Timbreng (1963), dan Sumpyuh (1966).
Pada tahun 1958 terbit antopologi cerpen karya, St.
Lesmaniasita berjudul Kidung Wengi ing
Gunung Gamping (Balai Pustaka). Pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980
jenis cerpen mengalami perkembangan. Cerpen-cerpen yang muncul umumnya
menggambarkan peristiwa atau masalah yang terjadi pada masa itu, baik masalah
cinta, konflik keluarga, kebobrokan moral, kepincangan ekonomi, maupun
kebijakan pemerintah. Ada beberapa buku kumpulan cerpen yang patut
diperhatikan, di antaranya Langite Isih
Biru (1975) dan Dongeng Kantresnan.
b. Puisi
Selain
berkembang genre prosa, dalam
khazanah sastra Jawa modern periode kemerdekaan (1945-1997) berkembang pula genre puisi. Puisi Jawa modern yang
tumbuh dan berkembang pada periode kemerdekaan merupakan kelanjutan dari
perkembangan puisi pada masa sebelumnya (prakemerdekaan). Puisi Jawa yang
tumbuh dan berkembang pada masa kemerdekaan telah menunjukkan ciri-ciri
inovatif sesuai dengan perkembangan zaman. Puisi Jawa pada awal kemerdekaan
dapat dibedakan menajadi dua, yaitu puisi tersebut banyak menghiasi media massa
berbahasa Jawa. Puisi Jawa tradisional sengaja tidak dipaparkan dalam buku ini
walaupun secara factual eksistensi jenis macapat
masih bertahan di sepanjang sejarah sastra Jawa modern.
Pembaruan
puisi Jawa modern yang diawali oleh Soebagijo I.N. terus berlanjut hingga tahun
1950-an. Pada masa itu para penyair seangkatan Soebagijo I.N . sudah jarang
menulis puisi; dan aktivitas mereka kemudian (tahun 1950-an) digantikan oleh
beberapa penyair baru lewat majalah Panjebar
Semangat, Jaya Baya, Mekar Sari, Waspada, Citra Cekak, Kekasihku, dan Medan Bahasa. Walaupun pada awal tahun
1950-an pembaruan dan perkembangan puisi Jawa tidak dapat dikatakan pesat,
bukan berarti masa itu tidak muncul karya-karya puisi Jawa modern. Dalam
situasi sulit iyu-setelah melewati tahun 1945-1949-para penyair mulai
mempublikasikan lagi karya-karyanya ke majalah Panjebar Semangat. Hal ini diawali oleh Soebagijo I.N . dengan guritan-nya “Gegambaran” (Panjebar
Semangat, 12 Juli 1946) dan Ismail dengan guritan berbentuk kuartrin (ikatan empat seuntai) berjudul “Pedhut” (Panjebar Semangat, 10 Mei 1949).
PEDHUT
Peteng dhedhet leilimengan
Anyaput wiwit sadhuwuring rumput
Kandel atumpuk suk-esukan
Nggameng kongsi angkasa muput
Ngupaya pundi dunungnya marga
Sakehing barang kang dumadi
Saka gegremetan nganti tekan
manungsa
Gegrayahan nalusur kang kaki
Maju nubruk munduk
Ngiwa natap nengen nabraki
Pendhut angalingi
Bebasan maju palastra mundura
ngemasi
Hyang bagaskara
Sumunar mencar memanasi
Kehing pedhut
Ilang sinorot tanpa daya
Byar padhang gumilang sanalika
Kang rumput tinon ing mandrawa
Ijo royo-royo kang gumbira
Binger sakeh kang dumadya
Selanjutnya,
Soebagijo I.N . menulis lagi puisi berbentik soneta berjudul “Gelenging Tekad” (Panjebar Semangat, 12 Juli 1949). Jenis puisi yang hadir kembali
pada awal kemerdekaan itu memang tidak banayak berbeda dengan puisi yang lahir
pada masa Jepang, yaitu soneta dan atau bentuk-bentuk terikat lainnya. Contoh
yang sangat jelas ialah kutipan guritan karya Ismail yang telah dikutip di atas dan guritan Nirmala berjudul “Enggala Asung Pawarta” (Panjebar
Semangat, 24 September 1949) yang
masih tetap menunjukkan keterikatan pada puisi berbentuk kuartrin (empat
seuntai). Demikian juga dengan guritan-guritan
seperti yang ditulis oleh S. Wisnukunthahja berjudul “Pepaosing Jalma” (Panjebar
Semangat, 17 Desember 1949). Sejak tahun 1946, guritan terikat semacam itu
selain terbit dalam Panjebar Semangat juga
terbit dalam Api Merdika. Salah satu
contohnya adalah guritan berjudul “Gegambaran” (Api Merdika, 1 Januari 1946). Baru pada awal tahun 1950-an muncul
guritan yang benar-benar modern, terbebas dari ikatan-ikatan tradisi. Guritan yang mengawali kehadiran puisi
Jawa modern tersebut adalah karya St. Iesmaniasita berjudul “Kowean Wis Lega?” (Panjebar Semangat, 2 Februari 1954).
KOWE
WIS LEGA?
Aku turuning pujangga
Bisa nyipta Panji &
Candrakirana
Bisa cerita edining kuncup melathi
Jingga tuwin aruming ludira
O. jaman Kanwa
Jaman Sedhah
Pepuspan amrik
Mekar endah
Leluhurku
Uriping saben jaman
Ngelik sesindhenan
Ing padesan
Ian ngumbara turut pesisir
Nasak wana salumahing bawana
Rungokna, rungokna…..
c. Drama
Dalam
khazanah sastra Jawa modern, genre drama merupakan sesuatu yang baru. Menurut
Hutomo (1997:192), penulisan naskah drama modern berbahasa Jawa giat dilakukan
orang setelah RRI Yogyakarta menyelenggarakan siaran sandiwara berbahasa Jawa.
Drama (sandiwara) radio RRI Yogyakarta ternyata tidak hanya disukai oleh
masyarakat Yogyakarta, tetapi juga oleh masyarakat yang tinggal di luar
Yogyakarta. Beberapa cerita horror yang pernah disiarkan oleh RSKP adalah “pepatikang Nggawa Wadi”, “Durjana”,
“Wewandi Kedhung Jero”, “Miranti”, “Ngumpulke Sukma Pisah”, “Cemani”, “Wewandi
Nggawa Pati”, dan “Omah kang Kebak Wewandi”.
Munculnya
dramaberbahasa Jawa di radio memberikan ilham kepada para penulis untuk
mempublikasikan karya-karyanya di surat kabar berkala berbahasa Jawa. Satu di
antaranya adalah “Kembang Katresnan” (Dharma Nyata, No. 60, Th. II, Minggu II,
Desember 1972-No.63-Th. II, Minggu I, Januari 1973) karya Sutarno Priyomarsono.
Jika
dibandingkan dengan perkembangan genre puisi dan prosa., hingga dua decade terakhir
ini perkembangan drama Jawa modern tertinggal jauh. Hal itu terjadi karena
tidak ada media yang mampu menampung dan menerbitkan naskah-naskah drama Jawa
modern.
Drama
Jawa modern pada umumnya mengangkat masalah-masalah yang menyangkut terdesaknya
kehidupan rakyat kecil yang miskin dan bodoh oleh gelombang modernisasi dan
industrialisasi.
Dari
segi penokohan, seperti halnya dalam genre novel dan cerpen, tokoh-tokoh dalam
genre drama Jawa modern juga mengalami pergeseran, yaitu tokoh-tokoh bangsawan
(istana sentries) ke tokoh-tokoh masyarakat kelas bawah.
d. Cerita
Bergambar
Dalam
khazanah sastra Jawa modern periode kemerdekaan, selain berkembang genre prosa,
puisi, dan drama berkembang pula genre cergam (cerita bergambar) atau sering
disebut komik. Genre ini merupkan hasil perpaduan antara seni sastra dan seni
lukis. Cergam memiliki wujud yang unik dan menarik walaupun sebenarnya bukan
barang baru bagi dunia sastra Jawa modern.
Rubrik sastra
yang disebut cergam baru muncul pada tahun 1950-an. Pada masa selanjutnya
hampir semua majalah berbahasa Jawa menampilkannya. Rubric itu muncul
mengiringi dan meneruskan kehadiran rubric episode dagelan atau episode humor
yang pada setiap terbit hanya berisi satu episode atau sekuen. Contoh cergam
berikut adalah satu rangkaian gambar dan narasi Petruk Dados Ratu.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Sastra
Jawa terdiri atas empat bagian, yaitu: sastra Jawa kuno, sastra Jawa
pertengahan, sastra Jawa baru, dan sastra Jawa modern. Sastra Jawa modern
terdiri atas genre prosa, puisi, drama, dan cerita bergambar.
B.
Saran
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas perkuliahan, untuk referensi lebih lanjut
tentang Sastra Jawa dapat dilihat dan diperoleh dari internet dan buku rujukan
yang ada di Balai Bahasa Ujung Pandang.
DAFTAR PUSTAKA
Pardi,
dkk. 1996. Sastra Jawa. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud: Jakarta.
Tim
Peneliti Balai Bahasa. 2001. Ikhtisar
Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan. Kalika Press:
Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar